Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
Oleh: KH MA Sahal Mahfudz
ASWAJA
atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham keagamaan, mempunyai
pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan
sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep
‘aqidah, syari’ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah
satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah keseimbangan
pada dalil naqliyah dan ‘aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan
adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam
masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan
nash-nash formal.
Ekstrimitas
penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak
dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori
menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual,
atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara
matang.
Fleksibilitas
Aswaja juga tampak dalam konsep ‘ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja,
baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqoyadah
-terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan
lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqoh) tanpa ketentuan-ketentuan
yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai
dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.
Demikian
sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter
para ulama Aswaja menunut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka
mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka
faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada
gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup
kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan
kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.
Aswaja
juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir
dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup
dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan,
suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di
berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi
makna bagi kehidupan masing-masing.
Dalam
proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan
aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini
manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek
tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.
Sedang
dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja
merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek
kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam
berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja
berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan
legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi
sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan
malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.
***
DALAM
konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja
menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas
dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan
lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya
membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara keduanya.
Pandangan
yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka
atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi
tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses
pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku
individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan
falsafah bangsa kita.
Proses
pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan
masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan
tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk
lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan
beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat
terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme.
Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring
kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan
kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.
Konsekuensi
lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai
baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia,
diletakkan pada “untung-rugi” secara materiil. Ini nampaknya sudah
menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan.
Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak
terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos
tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.
Konsep
pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi
terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan
masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses
pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas
masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun
harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada
keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok-
terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya
kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran
dan petunjuk Islam.
Manusia
yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar
kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru
mempunyai fungsi ganda, pertama ‘ibadatullah yang kedua ‘imaratu
al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang
pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa’adatud darain.
Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya
sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan
transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata
nilai yang Islami.
Dalam
konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada
umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk
saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat
terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang
merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang
dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi
oleh manusia pula.
Tentu
saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan
ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami.
Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif
ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan
manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang
kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.
Untuk
melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang
paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan
dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama
di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.
Kondisi
dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat
dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada
gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga
menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan
kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus
menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini
memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi
aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang
membentuk masa depannya.
***
KEBUTUHAN
akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting
adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini,
antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan
yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses
pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi
kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.
Merumus
kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan.
Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih
sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak
mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat
dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang
dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan
strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan
melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang
langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan
implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering
disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah
keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis
lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung
keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi
Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai
konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan
membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini
cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.
Dari
sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya
penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang
disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim
yang mampu berkewajiban menakahi kaum fakir miskin, bila tidak ada
baitul mal al muntadzim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan
masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang
mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.
Ajaran
Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang
bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi
dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan,
sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial
misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan
masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru
mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama
manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan
yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan
mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham
kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip
mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif
dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26
butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang
hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan
dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini
untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa
sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan
maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja
berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun mu’amalah yang menyangkut
berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti
diperlukan konsep mu’amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan
perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam
Aswaja.
Posting Komentar