Karya Al-Imam Abu Abdillah Al-Bushiri
Mawlâya shalli wa sallim dâ-iman abada
‘ala habîbika khayril-khalqi kullihimi
Huwal-habîbul-ladzî turja syafâ‘atuhu
likulli hawlin minal-ahwâli muqtahami
Wahai Tuhanku limpahkanlah shalawat dan salam kepada kekasih-Mu
sebaik-baik makhluk semuanya
Dialah sang kekasih yang diharapkan
syafa’atnya dari setiap huru-hara yang
menimpa
Itulah
sebagian bait-bait qashidah Burdah yang tak
asing lagi di telinga kita. Qashidah Burdah memang selalu didengungkan oleh para pecintanya setiap
saat. Di berbagai negeri Islam, baik di negeri-negeri Arab
maupun ‘ajam (non-Arab), ada majelis-majelis khusus
untuk pembacaan Burdah dan penjelasan bait-baitnya.
Tak henti-hentinya muslimin di seluruh penjuru dunia menjadikannya sebagai luapan
kerinduan pada Nabi. Qashidah Burdah bukan sekadar karya. Ia dibaca karena
keindahan kata-katanya. Dr. De Sacy, seorang ahli bahasa Arab di
Universitas Sorbonne, Prancis, memujinya sebagai karya puisi terbaik sepanjang masa.
Di Hadhramaut dan banyak daerah Yaman lainnya diadakan pembacaan qashidah Burdah
setiap subuh hari Jum’at atau ashar hari Selasa.
Sedangkan para
ulama Al-Azhar di kota Mesir banyak yang mengkhususkan
hari Kamis untuk pembacaan Burdah dan mengadakan kajian. Sampai kini masih diadakan
pembacaan Burdah di masjid-masjid besar di
kota Mesir, seperti Masjid Imam Al-Husain, Masjid
As-Sayyidah Zainab. Di negeri Syam (Syiria) majelis-majelis qashidah Burdah juga
digelar di rumah-rumah dan di masjid-masjid, dan dihadiri para ulama besar. Di
Maroko pun biasa diadakan majelis-majelis besar untuk pembacaan qashidah Burdah
dengan lagu-lagu yang merdu dan indah yang setiap pasal dibawakan dengan
lagu khusus.
Burdah tak hanya
indah kata-katanya, tapi doadoanya juga memberi manfaat pada jiwa.
Karena itu tak mengherankan jika banyak ulama memberikan catatan
khusus tentang Burdah, baik dalam bentuk syarah
(komentar) maupun hasyiyah (catatan
kaki atau catatan pinggir). Sangat banyak karya syarah atas
Burdah yang tak diketahui lagi siapa pengarangnya. Qashidah
Burdah adalah salah satu karya paling populer
dalam khazanah sastra Islam. Isinya sajak-sajak pujian
kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai
spiritual, dan semangat perjuangan.
Hingga
kini Burdah masih sering dibacakan di berbagai
pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi.
Banyak pula yang menghafalnya. Karya itu telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Persia,
Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Indonesia/Melayu,
Inggris, Prancis, Jerman, Italia.
Pengarang
qashidah Burdah ialah Al-Bushiri (610-695H/1213-1296
M). Nama lengkapnya Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin
Zaid Al-Bushiri. Selain menulis Burdah, Al-Bushiri juga menulis beberapa
qashidah lain. Di antaranya Al-Qashidah Al-Mudhariyah dan Al-Qashidah
Al-Hamziyah.
Al-Bushiri adalah keturunan Berber yang
lahir di Dallas, Maroko, dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Ia
murid sufi besar Imam Asy-Syadzili dan penerusnya yang
bernama Abul Abbas Al-Mursi, tokoh Tarekat Syadziliyah. Di
bidang fiqih, Al-Bushiri menganut Madzhab Syafi‘i,
madzhab fiqih mayoritas
di Mesir.
Di
masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam
mempelajari Al-Quran, di samping berbagai ilmu
pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada
ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu
agama dan kesusastraan Arab, ia pindah ke Kairo.
Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang andal.
Kemahirannya di bidang
syair melebihi para penyair pada zamannya. Karyakarya kaligrafinya
juga terkenal indah.
Di
dalam qashidah Burdah diuraikan beberapa segi
kehidupan Nabi Muhammad SAW, pujian terhadap beliau,
cinta kasih, doa-doa, pujian terhadap Al-Quran,
Isra Mi’raj, jihad, tawasul, dan sebagainya. Dengan
memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Al-Bushiri tidak
saja telah menanamkan kecintaan umat Islam kepada nabinya,
tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral,
kepada kaum muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan
jika qashidah Burdah senantiasa dibacakan
di pesantren-pesantren salaf.
Al-Burdah, menurut
etimologi, banyak mengandung arti, antara lain baju
(jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu
atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang
khalifah bisa dibedakan
dengan pejabat negara lainnya, temanteman,dan masyarakat pada
umumnya. Burdah juga merupakan
nama qashidah yang
digubah oleh Ka‘ab bin Zuhair bin Abi Salma yang dipersembahkan
kepada Rasulullah SAW.
Ada
sebab-sebab khusus dikarangnya qashidah Burdah. Suatu ketika Al-Bushiri menderita sakit lumpuh
sehingga tidak dapat bangun dari tempat tidurnya.
Lalu dibuatnya syair-syair yang berisi pujian
kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’atnya. Di
dalam tidurnya, ia mimpi berjumpa dengan Nabi
Muhammad SAW. Nabi mengusap wajah Al-Bushiri, kemudian beliau melepaskan
jubahnya dan mengenakannya ke tubuh Al-Bushiri. Saat ia bangun dari
mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari lumpuhnya.
Al-Bushiri
adalah seorang yang menjalani kehidupan sebagaimana
layaknya para sufi, yang tercermin dalam
kezuhudannya, ketekunannya beribadah, serta
ketidaksukaannya pada kemewahan dan kemegahan duniawi. Di
kalangan para sufi, ia termasuk dalam jajaran sufi
besar. Sayyid Mahmud Faidh Al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jawharat
al-Awliya’, bahwa Al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang
sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai
sekarang masih diziarahi orang. Makam itu berdampingan
dengan makam gurunya, Abul Abbas Al-Mursi.
Memuji
Nabi Muhammad bukanlah menganggap beliau sebagai Tuhan.
Menyanjung Rasulullah
adalah mengakui Muhammad SAW sebagai manusia pilihan.
“Kami tidak mengutus engkau (hai Muhammad) kecuali
(sebagai) rahmat bagi alam semesta (wa ma arsalnaka illa
rahmatan lil’alamin).” Itu firman Tuhan.
Sumber
ajaran memuji dan mencintai Nabi tak lain adalah Islam itu
sendiri. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Didiklah
anak-anakmu dalam tiga
tahap. Mencintai Nabi, keluarganya, dan membaca Al-Quran.” Untuk
mencintai kekasih, apalagi beliau itu adalah kekasih
Tuhan, Al-Quran mengajarkan dan menganjurkan kepada
umat Islam, sebagaimana tertera dalam Kitabullah, “Sungguh
Allah dan para malaikat
bershalawat atas Nabi. Hai orang beriman, bershalawatlah atasnya
dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormatnya
salam.” (QS 33: 56).
Shalawat,
jika datangnya dari Allah kepada nabi-Nya, bermakna rahmat dan keridhaan. Jika
dari para malaikat, berarti permohonan ampun. Dan bila dari umatnya,
bermakna sanjungan dan pengharapan,agar rahmat dan keridhaan Tuhan
dikekalkan.Dalam surah yang lain Allah memuji hamba-Nya yang satu ini dengan,
“Sungguh engkau (hai Nabi) benar-benar dalam budi dan perangai yang tinggi.” Allah
tak pernah memanggil namanya langsung, seperti “hai Muhammad”, melainkan “hai
Nabi”, “hai Rasul”, “hai pria yang berselimut”.
Di
samping itu bukankah Baginda sendiri yang menganjurkan
kita untuk menghaturkan sanjungan (madah) terhadap diri
beliau? Seorang nabi yang telah digambarkan oleh
Al-Quran sebagai “pencurah rahmat bagi seluruh alam
semesta”. Seperti diharapkan beliau dalam banyak hadits
agar kaumnya banyak menyebut namanya. “Sebutlah selalu namaku, sungguh
shalawatmu itu sampai kepadaku,” sabdanya. Bahkan dianjurkan agar umat Islam banyak-banyak
menyebut namanya di malam Jum’at. Seperti dalam riwayat lain, sungguh menyebut nama
Muhammad SAW akan dijawab (dengan pahala) berlipat-lipat.
Sepenggal Baitnya :
هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ #
لِكُلِّ
هَوْلِ مِنَ اْلأَهْوَالِ مُقْتَحِيْمِ
مَوْلاَيَ صَلِّى وَسلِّمْ دَائِمًا أَبَدًا #
عَلَى
حَبِيْبِكَ خَيْرِ الْخَلْقِ كُلِّهِمِ
Dialah sang kekasih
yang diharapkan syafa’atnya dari setiap huru-hara yang menimpa, Wahai Tuhanku
limpahkanlah shalawat dan salam kepada kekasih-Mu sebaik-baik makhluk semuanya
======Wallahu'alam...
Posting Komentar