RESOLUSI JIHAN NU (Bagian II)

RESOLUSI JIHAN NU (Bagian II)

27-29 OKTOBER 1945:
PERANG TIGA HARI SURABAYA

Baru dua hari menginjakkan kaki di Surabaya, tentara sekutu langsung mendapatkan gangguan berarti dari laskar pejuang di Surabaya.

Pagi haritanggal 27 Oktober 1945, dilaporkan rakyat secara bergelombang keluar dari rumah mereka dan gang-gang di Surabaya dengan membawa senjata apa adanya.

Ada yang membawa golok, pedang, tombak, arit, bambu dan banyak juga yang lain yang tidak membawa apa-apa. Mereka terlibat keributan dan bentrok dengan tentara Jepang dan Sekutu yang sedang berpatroli di sejumlah titik di Surabaya.

Ujung dari bentrokan itu adalah penyerangan pos-pos tentara Jepang dan Sekutu. Menurut peneliti dari Universitas Brawijaya Malang, Agus Sunyoto, peristiwa bentrokan itu berlangsung selama tiga hari antara tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Semuanya berlangsung secara spontan, sporadis, massal, dan tidak terkendali. Agus Sunyoto lebih memilih menggunakan istilah tawuran massal dari pada perang. Karena selain yang bergerak adalah massa dan laskar rakyat, bukan militer resmi Indonesia, merka juga tidak ada yang mengkomandani.

Perang sengit berkecamuk selama 3 hari Perang sengit berkecamuk selama 3 hari berturut- turut di banyak titik di kota Surabaya. Apa yang membuat massa nekat bergerak tanpa persenjataan yang memadai dan mempertaruhkan nyawa seperti itu?

Usut punya usut, ternyata dokumen Resolusi Jihad NU telah tersebar sedemikian rupa dan membentuk psikologi massa yang kuat di Surabaya. Dari gang-gang kecil di Surabaya, mengalir ratusan orang meneriakkan takbir menuju jalan-jalan besar di Surabaya.

Ribuan orang berkumpul di sejumlah titik dan terlibat bentrok dengan tentara Inggris dan Jepang.
Pertempuran atau tawuran selama tiga hari itu menimbulkan korban yang cukup banyak di kalangan rakyat dan laskar Indonesia. Namun, tidak sedikit pula tentara Inggris yang meninggal dalam bentrokan tersebut. Bahkan, bisa dikatakan Inggris betul-betul terdesak dan kewalahan menghadapi aksi sporadis warga Surabaya ini.
Agus memberi pengandaian, rakyat Surabaya seperti semut yang datang dari berbagai arah untuk menyerang sekutu.

Tentara sekutu yang kabur menyelamatkan diri, diburu dan dibantai. Tentara Gurkha Inggris (Pakistan) sekuat tenaga Tentara Gurkha Inggris (Pakistan) sekuat tenaga membendung perlawanan arek-arek Surabaya Pengakuan serupa juga disampaikan Soemarsono. Salah satu komandan laskar pejuang yang terlibat dalam pertempuran tiga hari tersebut. Menurutnya,dalam pertempuran itu, kekuatan pemuda Surabaya di atas angin, bahkan ia memprediksi beberapa jam lagi kemenangan mutlak sudah bisa didapat.

Sekutu sudah kewalahan. Buktinya, Jenderal Mallaby menghubungi markas pusat Sekutu se-Asia
Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya mengusahakan gencatan senjata. Setelah menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi tentara Sekutu di Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni, untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta.

Hawthorn minta diberlakukan gencatan senjata. Waktu itu Bung Karno belum genap tiga bulan menjadi presiden pertama Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang diberikan tentara Sekutu untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini.

Yang jelas, hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke Surabaya dengan pesawat dari Singapura tersebut. Tentara Inggris keteteran dan hampir kalah dalam Tentara Inggris keteteran dan hampir kalah dalam pertempuran sengit 3 hari (27, 28, 29 Oktober 1945) sampai akhirnya Inggris mendatangkan Bung Karno ke Surabaya Tiba di Surabaya, Bung Karno langsung melakukan konvoi keliling kota.

Bung Karno menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung Karno keliling kota seperti itu karena tidak tahu bagaimana cara mencari para pimpinan pemuda Surabaya. Mereka semua sedang berada di front yang berbeda-beda. Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di Wonokromo, bagian selatan Kota Surabaya.
Soemarsono kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung Karno itu. Ia marah besar dan mencegat mobil konvoi presiden di daerah Wonokromo. Ia berdiri di tengah jalan menghentikan mobil yang membawa BungKarno dan Bung Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam konvoi itu. Soemarsono mengatakan ke Bung Karno bahwa sebentar lagi Inggris pasti kalah, mengapa perang dihentikan. Bung Karno hanya diam sambil menunduk dan memerintahkan Mr. Amir Syarifuddin, Menteri Keamanan Rakyat turun dari mobil untuk menemui Soemarsono.

Soemarsono sangat menghormati Amir dan ketika dijelaskan panjang lebar, akhirnya Soemarsono luluh hatinya. Ia pun ikut naik ke mobil dan menyerukan gencatan senjata. Namun, setelah itu Soemarsono mengaku menyesal sekali menerima bujukan Amir. Pertempuran di sejumlah titik tetap berlangsung, Pertempuran di sejumlah titik tetap berlangsung,
meski gencatan senjata sudah ditandatangani

30 OKTOBER 1945:
JENDERAL MALLABY TEWAS


Perjanjian gencatan senjata ditandatangani pihak Indonesia-Inggris pada pagi hari tanggal 30 Oktober 1945.
Namun, pertempuran-pertempuran kecil hari itu masih saja terjadi di sejumlah tempat.
Sore harinya, Jenderal Mallaby melakukan perjalanan ke kamp-kamp tentara Sekutu untuk mensosialisasikan gencatan senjata. Pada saat melintas dekat Jembatan Merah, Mallaby berselisih paham dengan laskar Indonesia. Kesalah pahaman ini berakhir dengan bentrokan antara laskar Indonesia dengan tentara Sekutu yang kamp-nya tidak jauh dari tempat tersebut. Jenderal Mallaby berada di tengah-tengah.

Sebuah sumber menyebutkan Jenderal Mallaby tewas karena tertembak pistol pemuda laskar Indonesia, namun pihak lain menyebutkan Mallaby tewas terkena granat dari anak buahnya sendiri tanpa sengaja.

Jenderal Mallaby

Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada
keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Caren Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

1-9 NOVEMBER 1945:
KONSOLIDASI DAN PERSIAPAN PERANG


Bung Tomo Konsultasi Ke Kyai Hasyim Ultimatum tentara sekutu dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan/milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Bung Tomo
Seorang pemuda Surabaya bernama Sutomo (Bung Tomo) yang memiliki anak buah cukup banyak dan loyal dilaporkan menghadap ke Kyai Hasyim. Bung Tomo memang dikenal dekat dengan Kyai Hasyim, karena rumah orang tua Bung Tomo bersebelahan dengan rumah Kyai Hasyim di Surabaya. Seperti
diketahui sejak kasus penahanan Kyai Hasyim oleh tentara Jepang karena menolak hormat kepada
bendera Jepang, Kyai Hasyim lebih memilih tinggal di Surabaya dan sangat jarang kembali ke Jombang.

K.H. Hasyim Asy'ari
Demi prinsip, K.H. Hasyim Asy’ari menolak menghormat bendera Belanda dan Jepang Sejumlah sumber menyebutkan Bung Tomo meminta ijin kepada Kyai Hasyim untuk menyiarkan Resolusi Jihad NU melalui radio guna memompa semangat perlawanan rakyat menghadapi kemungkinan terburuk deadline tanggal 10 November.

Kyai Wahab Mengumpulkan Milisi Menyikapi ultimatum dari tentara sekutu, Kyai Wahab Hasbullah mengundang pimpinan laskar atau milisi yang berada dalam binaan NU untuk dimintai pertimbangan terkait langkah-langkah apa yang harus diambil. Laskar yang dipanggil tersebut antara lain, Laskar Hizbullah pimpinan K.H. Zainul Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan K.H. Masykur dan Laskar Mujahidin yang dipimpin sendiri oleh Kyai Wahab serta sejumlah komandan Batalion PETA.

Seperti diketahui, sebanyak 20 komandan Batalion PETA atau separuh lebih dari keseluruhan Batalion PETA, komandannya adalah Kyai atau pimpinan pesantren NU.

K.H. Zainul Arifin, Panglima Laskar Hizbullah
Dalam pertemuan tersebut, masing-masing pimpinan laskar memutuskan untuk tetap melawan tentara sekutu sampai titik darah penghabisan. Disusunlah kemudan taktik dan strategi perang melawan tentara sekutu pada tanggal 10 November 1945. Para komandan laskar tahu betul bahwa persenjataan tentara Inggris sangatlah lengkap, oleh sebab itu untuk menghadapinya harus menggunakan taktik yang cerdik.

K.H. Masykur, Panglima Laskar Sabilillah
Tidak ada satupun kekuatan rakyat waktu itu yang menganjurkan menyerah terhadap tentara sekutu.
Semua komponen menolak tunduk dan menyatakan siap angkat senjata dengan mempertaruh jiwa dan raganya. Jihad Fi Sabilillah seperti begitu dirindukan.  Laskar Dari Daerah Bergerak Menuju Ke Surabaya Menjelang 10 November 1945, rakyat dan para laskar dari daerah dilaporkan bergerak menuju Surabaya.
Dari Malang, dilaporkan ribuan orang berjalan kaki menuju Surabaya. Dari Tulungagung, Kediri, Jombang, ribuan orang bergelombang datang ke Surabaya naik kereta api.  Dari pantura seperti Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik juga dilaporkan di kampung-kampung terjadi mobilisasi massa sukarelawan untuk jihad ke Surabayamelawan Sekutu.

Laskar Hizbullah bergerak menuju Surabaya.
Sebagian besar dari mereka sama sekali buta dengan gambaran musuh yang akan mereka hadapi.
Mereka tidak tahu apa itu tank, pesawat tempur, dan peralatan militer lainnya. Namun, ketidaktahuannya itu justru menjadikan mereka lebih bersemangat untuk melihat dari dekat. Sebagian di antara mereka memamerkan pusaka-pusaka keluarga yang diyakininya memiliki kesaktian akan mampu mengalahkan merian dan tank-tank sekutu.
Sejumlah pondok pesantren secara diam-diam juga terlibat menggelar ritual pengisian energi kekebalan
(‘asma’) terjadap sukarelawn yang akan berangkat ke meden laga.

10 NOVEMBER 1945:
JIHAD FI SABILILLAH BERKOBAR DI SURABAYA

Pagi hari, Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya memutar pidato Bung Tomo yang dengan suara
meledak-ledak mengajak rakyat Surabaya turun ke jalan mengangkat senjata melawan Sekutu.
Pekik takbir dalam pidato Bung Karno menunjukkan bahwa pidato itu tidak lain adalah seruan berjihad seperti yang diserukan oleh NU sebelumnya. Siaran Bung Tomo, diputar terus menerus sepanjang pagi sampai siang hari oleh RRI dan direlay oleh radio-radio komunitas di Surabaya.

Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Suroboyo.
Bung Tomo memiliki kedekatan khusus dengan Kyai Hasyim Asy’ari, karena bertetangga dekat di Surabaya.
Siang hari, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Seperti janjinya, Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Perlawanan sengit Laskar Hizbullah.

Inggris Targetkan 3 Hari Tundukkan Surabaya Dengan persenjataan yang lengkap, Inggris memasang target Kota Surabaya sudah dapat dikuasai sepenuhnya dalam jangka waktu maksimal 3 hari. Dan tidak ada lagi perlawanan yang berarti dari milisi dan tentara Indonesia. Namun, target itu meleset jauh. Inggris dibuat shock dan terbelalak matanya menyaksikan militansi perlawanan rakyat Surabaya.

Tentara Gurkha Inggris
11 November 1945: Inggris Kehilangan Jenderal 

Lagi Baru memasuki hari kedua pertempuran Surabaya, Inggris kehilangan Jenderal terbaiknya, Eric Carden Robert Mansergh. Sebelum ini, Inggris juga kehilangan Jenderal Mallaby yang tewas 30 Oktober 1945. Artinya, belum dua minggu bertempur melawan arek-arek Surabaya , Inggris sudah kehilangan dua jenderal terbaiknya. Hal inilah yang membuat psikologi pasukan Inggris langsung jatuh. Mereka melihat lautan manusia terus merangsek ke arah mereka tanpa ampun.

Ditembak 1, muncul 10,
ditembak 10, muncul 100, ditembak 100, muncul 1000 dan begitu seterusnya, seolah tiada habisnya.

Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, pengganti Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, pengganti Jenderal Mallaby, tewas di hari kedua pertempuran Surabaya Tentara Pakistan dan Hindia Membelot Membela Indonesia Militansi perlawanan sukarelawan Surabaya menggugah hati para tentara Inggris asal Pakistan dan India (Gurkha).

Gema takbir yang terus berkumandang dari mulut para pejuang Indonesia selama pertempuran, menyadarkan tentara Gurkha yang notabene beragama Islam bahwa musuh yang dihadapi adalah saudara seiman yang sedang berjihad membela negara dan agamanya. Dilaporkan tidak kurang dari 300 personel Gurkha membelot dan bergabung dengan pejuang Indonesia balik melawan tentara Inggris.

Ziaul Haq, komandan pasukan Gurkha yang memilih pulang ke negaranya karena tidak mau berhadapan dengan ulama dan santri yang notebene seiman seperjuangan Bahkan, komandan mereka, Ziaul Haq membangkang Inggris tidak mau melanjutkan pertempuran dan memilih kembali ke Pakistan bersama pasukannya setelah ia tahu yang ia lawan dan yang ia bunuh adalah ulama-ulama Islam dan para santri. Keputusan ini membuat Ziaul Haq dicap sebagai pengkhianat Inggris selamanya. Ziaul Haq terpilih menjadi Presiden Pakistan yang ke-6 tahun 1977 dan meninggal setelah pesawatnya ditembak orang tak dikenal.
Sebanyak 300 pasukan Gurkha membelot bergabung Sebanyak 300 pasukan Gurkha membelot bergabung dengan tentara Indonesia.


Pertempuran Surabaya Berlangsung 3 Minggu
Dari target 3 hari, pertempuran besar Surabaya berlangsung selama 3 minggu. Kota Surabaya betul-betul luluh lantak. Inggris memang akhirnya berhasil menguasai Kota Surabaya. Namun, semuanya harus dibayar mahal. Ia kehilangan dua jenderal terbaiknya, kehilangan 2.000 lebih pasukan terlatihnya, dikhianati tentaranya sendiri, kehilangan peralatan perang yang cukup banyak, dan tentu saja terkuras habis logistiknya, tidak sebanding dengan luas wilayah yang ia rebut. Pertempuran yang melelahkan dan menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar Korban di pihak Indonesia tak terhitung lagi.

Ada yang memperkirakan 20.000, ada yang mencatat 60.000, semuanya gugur sebagai syuhada seperti yang dijanjikan oleh Resolusi Jihad NU.  Para pejuang kemerdekaan yang masih tersisa memilih bergeser ke pinggiran Surabaya dengan tetap memberikan perlawanan sekuatnya. Sebanyak 200.000 penduduk mengungsi dari Surabaya yang porak poranda.

PERTEMPURAN SURABAYA MENGINSPIRASI PERLAWANAN NASIONAL

Meski pada akhirnya Kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris, namun semangat perlawanan para pejuang Jawa Timur dalam memberikan perlawanan berarti kepada Sekutu telah menginspirasi perlawanan serupa di sejumlah daerah, antara lain di Jakarta pada tanggal 18 November, di Semarang pada 18 November, di Riau 18 November, di Ambarawa tanggal 21 November, di Bandung 6 Desember dan di Medan pada 6 Desember.

Panglima Besar Jenderal Soedirman melakukan terhadap pasukan di Ambarawa, Magelang
Pertempuran Surabaya Memaksa Belanda Kembali Ke Meja Perundingan Pertempuran sengit yang menelan korban jiwa dalam jumlah besar itu telah membuka lebar-lebar dunia internasional banwa pemerintahan Indonesia adalah eksis, baik pemerintahannya maupun militernya. Oleh sebab itu, sebagai negara yang eksis, maka Belanda diwajibkan untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia, bukan dengan jalan agresi.

Resolusi Jihad dan Eksistensi NKRI
Semua itu dimungkinkan karena Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945.
Tanpa ada resolusi jihad, tidak akan ada perang tiga hari di Surabaya, yang kemudian berlanjut ke peristiwa 10 November 1945, menjalar ke pertempuran nasional dan ujungnya pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi NKRI.
Tugu Pahlawan untuk mengenang jasa para syuhada dalam mempertahankan Kota Surabaya dan NKRI dari penjajah.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. GUMAR NU SETIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger